Gaza, RadarYogyakarta.com – Rencana bersama Amerika Serikat dan Israel untuk mendistribusikan bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza memicu penolakan keras dari masyarakat Palestina. Warga menganggap inisiatif tersebut sebagai upaya bermotif politik yang tidak menghormati martabat mereka, serta mengesampingkan lembaga-lembaga bantuan internasional yang dinilai lebih kredibel dan netral.
Sejumlah pengungsi di Gaza mengaku skeptis terhadap tujuan di balik program bantuan ini, yang dianggap sarat kepentingan geopolitik. Sejak agresi militer dan blokade yang berlangsung selama berbulan-bulan, mereka mengaku hidup dalam kelaparan dan ketakutan.
“Sejak kami dipaksa meninggalkan rumah ke wilayah selatan, hidup kami penuh penderitaan. Kini bantuan datang dari negara yang kami anggap ikut andil dalam penderitaan ini,” ujar Mohammed al-Ajrami, warga Gaza City, kepada RadarYogyakarta.com.
Ia menambahkan, masyarakat Gaza tidak menginginkan bantuan yang datang dengan syarat atau agenda tersembunyi. “Kami membutuhkan bantuan kemanusiaan yang menghormati nilai-nilai kami, bukan yang diiringi pengawasan politik atau militer. PBB selama ini bekerja dengan cara yang lebih manusiawi,” lanjutnya.
Penolakan senada disampaikan Salah al-Ja’farawi, juga warga Gaza City, yang menyebut bahwa masyarakat menolak bantuan yang bersifat transaksional. “Setelah 18 tahun blokade dan perang yang terus berkecamuk, kami tidak akan menerima bantuan yang menjadi alat untuk menekan hak-hak kami,” tegasnya.
Program distribusi yang diumumkan pekan ini oleh Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, dirancang untuk menjangkau sekitar 1,2 juta warga Gaza atau 60 persen populasi wilayah tersebut. Bantuan akan disalurkan melalui empat pusat distribusi dan dikelola oleh lembaga baru bernama Gaza Humanitarian Foundation. Operasi ini akan diamankan oleh militer Israel dan dikerjakan oleh kontraktor asal AS.
Namun demikian, banyak pihak di Gaza menilai pendekatan ini justru akan memperburuk persepsi masyarakat terhadap tujuan kemanusiaan dari program tersebut.
Rami al-Najjar, seorang relawan kemanusiaan lokal, menyatakan bahwa proses distribusi seharusnya dijalankan oleh lembaga internasional yang memiliki rekam jejak netral dan profesional.
“Jika bantuan dikelola oleh pihak militer atau entitas politik, pesan yang disampaikan menjadi keliru. Masyarakat akan melihatnya sebagai bagian dari kontrol, bukan pertolongan,” katanya.
Situasi kemanusiaan di Gaza terus memburuk dalam beberapa bulan terakhir. Sejak Maret, Israel memperketat blokade, membatasi akses masuk untuk bahan pangan, obat-obatan, dan bahan bakar. Organisasi bantuan melaporkan peningkatan kasus malnutrisi, terutama di kalangan anak-anak dan perempuan.
Hussam al-Dajani, analis politik asal Gaza, menilai bahwa langkah AS dan Israel bukan murni didasari niat kemanusiaan, melainkan lebih condong ke agenda strategis.
“Langkah ini tampaknya lebih ditujukan untuk melemahkan pengaruh Hamas dibanding menyelamatkan nyawa. Rakyat di sini melihatnya sebagai bentuk baru pengendalian,” ujarnya.
Al-Dajani memperingatkan bahwa melibatkan kontraktor asing dan militer dalam urusan kemanusiaan berpotensi memperbesar jarak antara masyarakat dan pihak pemberi bantuan.
“Ini bukan solusi. Rakyat Palestina menyerukan adanya bantuan yang disalurkan melalui PBB dan lembaga internasional lain yang dipercaya, tanpa intervensi politik. Bantuan seharusnya membebaskan, bukan memaksa,” pungkasnya.