Jakarta (RadarYogyakarta.com) – Terungkapnya berbagai kasus femisida menggarisbawahi bahwa kekerasan berbasis gender, khususnya pembunuhan terhadap perempuan, semakin menjadi ancaman serius di Indonesia. Femisida, yang merujuk pada pembunuhan perempuan oleh pria karena kebencian berbasis gender, terus menunjukkan angka yang mengkhawatirkan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga melibatkan relasi kuasa yang timpang, di mana penguasaan dan dominasi pria terhadap perempuan seringkali berakhir dengan pembunuhan. Berdasarkan data yang dihimpun, dalam beberapa pekan pertama tahun 2025, setidaknya telah terjadi empat kasus femisida yang menambah panjang daftar kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Pada akhir Januari 2025, warga di Jawa Timur digegerkan dengan penemuan mayat perempuan berinisial UK (29) yang dimutilasi. Tubuh korban ditemukan dalam koper merah di Kabupaten Ngawi. Pelaku, yang diketahui bernama RTH alias A (32), adalah kekasih korban. Aksi pembunuhan tersebut dipicu oleh rasa cemburu yang mendalam, hingga pelaku nekat membunuh dan memutilasi korban sebelum membuang potongan tubuhnya di berbagai lokasi, termasuk Kabupaten Ponorogo dan Trenggalek.
Sementara itu, di Palembang, Sumatera Selatan, terjadi peristiwa tragis di mana seorang wanita berinisial SPS (25) meninggal dunia setelah ditelantarkan oleh suaminya, WS (26). Korban yang tengah menderita kanker paru-paru tersebut sengaja diabaikan oleh suaminya karena menolak berhubungan intim akibat kondisi kesehatannya yang memburuk.
Di Aceh, tepatnya di Kabupaten Bener Meriah, seorang suami berinisial EA (31) melakukan femisida terhadap istrinya, A (35). Kasus ini tergolong sadis, di mana jasad korban dimasukkan ke dalam drum sebelum dikubur dan dicor oleh pelaku. Sedangkan di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, kasus serupa terungkap setelah jenazah istri kedua pelaku, S (43), ditemukan di dalam septic tank. Kasus ini baru terungkap pada awal 2025 setelah pelaku kembali melakukan femisida terhadap perempuan lain.
Kekerasan Berulang: Silent Killer Bagi Perempuan
Menurut Rainy Hutabarat, anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), kekerasan yang terjadi dalam hubungan intim dan rumah tangga merupakan “silent killer” atau pembunuh diam-diam yang sering terabaikan. Korban yang mengalami kekerasan berulang kali dalam rumah tangga tidak jarang berakhir dengan kematian, sementara korban yang tersisa seringkali terpaksa menanggung luka fisik dan psikologis yang dalam.
Rainy menambahkan bahwa motif di balik femisida seringkali dipengaruhi oleh maskulinitas toksik, di mana pria merasa berhak untuk menguasai, mengontrol, dan bahkan menghilangkan nyawa perempuan karena alasan kebencian atau rasa tidak puas. Selain itu, penghilangan jejak melalui mutilasi atau pembuangan jenazah korban dengan cara-cara kejam menunjukkan adanya unsur sadisme dalam tindak kejahatan tersebut.
Komnas Perempuan juga mencatat bahwa kekerasan terhadap pasangan intim, seperti suami atau kekasih, merupakan kasus kekerasan yang paling banyak dilaporkan. Empat kasus femisida yang terjadi dalam rentang Januari hingga Februari 2025 semuanya melibatkan hubungan pasangan intim. Tiga di antaranya menampilkan tindakan sadis yang tidak hanya merenggut nyawa korban, tetapi juga merendahkan martabat mereka melalui perlakuan terhadap jenazah.
Rainy juga menyayangkan kurangnya pencegahan yang optimal dalam kasus femisida, di mana banyak masyarakat yang masih tidak menyadari bahaya kekerasan berulang, terutama yang terjadi di dalam rumah tangga.
Kurangnya Regulasi tentang Femisida
Selain itu, pihak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyoroti belum adanya pengakuan resmi terhadap terminologi femisida dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA, Eni Widiyanti, menyatakan bahwa peraturan yang mengatur tentang femisida sangat dibutuhkan untuk mempermudah penanganan korban dan mencegah terulangnya kejadian serupa.
Menurut hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024, sekitar 20,5 persen perempuan di Indonesia mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang berjumlah sekitar 19,3 juta perempuan dalam rentang usia 15-64 tahun. Sayangnya, hanya sekitar 0,2 persen dari perempuan tersebut yang berani melapor kepada pihak berwenang, sementara 98 persen memilih diam.
Eni mengimbau agar perempuan lebih sadar akan berbagai bentuk kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dan tidak ragu untuk melapor. Terlebih lagi, banyak masyarakat yang masih menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai masalah pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain.
Untuk itu, KemenPPPA bersama dengan kementerian dan lembaga lain terus berupaya melakukan pencegahan melalui pelatihan dan sosialisasi kepada masyarakat, serta mengampanyekan pentingnya berbicara dan melapor melalui gerakan “Dare to Speak Up”. Upaya ini diharapkan dapat mencegah terjadinya lebih banyak lagi kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk femisida di masa depan.