Jakarta – Pemerintah Indonesia melalui Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dikabarkan tengah mempercepat penyusunan regulasi terkait stablecoin — aset kripto yang nilainya dipatok pada mata uang tertentu seperti dolar AS atau rupiah. Langkah ini menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam menghadapi pesatnya adopsi aset digital di kalangan masyarakat sekaligus memberikan kepastian hukum bagi pelaku industri.
Dilansir dari situs berita kripto ,Dalam beberapa tahun terakhir, stablecoin seperti USDT (Tether), USDC (USD Coin), dan DAI telah menjadi instrumen utama dalam perdagangan kripto global, termasuk di Indonesia. Banyak investor lokal menggunakan stablecoin sebagai alat lindung nilai dan media transaksi antar-platform.
Namun, belum adanya regulasi yang jelas tentang status stablecoin di Indonesia membuat ruang abu-abu dalam perlindungan konsumen, terutama ketika terjadi penipuan, peretasan, atau gagal bayar dari platform yang memperdagangkan aset ini.
BI dan OJK Fokus pada Potensi Sistemik dan Risiko Stabilitas
Menurut pernyataan dari Deputi Gubernur BI, Filianingsih Hendarta, stablecoin tidak hanya dipandang sebagai aset spekulatif, tetapi juga dapat membawa dampak sistemik terhadap stabilitas moneter jika tidak diawasi dengan baik.
“Kami tidak menutup mata terhadap perkembangan aset digital. Tetapi stablecoin yang nilainya dipatok pada mata uang tertentu memiliki potensi besar mempengaruhi transmisi kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan nasional,” ujarnya dalam sebuah forum ekonomi digital, Selasa (15/4).
BI dan OJK juga disebutkan sedang mempelajari praktik regulasi stablecoin di negara lain, seperti kebijakan MiCA (Markets in Crypto-Assets) di Uni Eropa dan pendekatan SEC serta CFTC di Amerika Serikat, guna menciptakan regulasi yang komprehensif namun tetap mendukung inovasi.
Industri Kripto Lokal Sambut Positif, Tapi Minta Kejelasan
Para pelaku industri kripto lokal menyambut baik rencana regulasi stablecoin tersebut, namun mereka menegaskan pentingnya kejelasan teknis dan keterlibatan pelaku industri dalam proses penyusunan kebijakan.
CEO Tokocrypto, Yudhono Rawis, mengatakan bahwa langkah BI dan OJK sangat diperlukan demi meningkatkan kepercayaan publik, terutama investor pemula.
“Kami mendukung penuh regulasi yang melindungi konsumen. Tapi kami juga berharap kebijakan tersebut tidak menghambat inovasi. Harus ada ruang kolaborasi antara regulator dan pelaku industri,” ujarnya.
Sementara itu, Co-Founder Pintu, Jeth Soetoyo, menilai bahwa pengawasan terhadap stablecoin justru akan membuka peluang pengembangan Rupiah Digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC) dalam jangka panjang.
Potensi Integrasi Stablecoin Lokal: Peluang atau Ancaman?
Beberapa analis meyakini bahwa regulasi stablecoin dapat membuka peluang bagi lahirnya stablecoin berbasis Rupiah yang resmi, baik yang dikembangkan oleh swasta di bawah pengawasan pemerintah, maupun langsung diterbitkan oleh otoritas moneter.
Stablecoin berbasis Rupiah bisa menjadi instrumen digital baru dalam ekosistem pembayaran, terutama untuk transaksi lintas negara, remitansi, dan e-commerce digital. Selain itu, jika dikembangkan dengan model terbuka berbasis blockchain, teknologi ini berpotensi memperluas inklusi keuangan di Indonesia.
Namun, tantangan besar tetap ada. Keamanan infrastruktur, tata kelola yang baik, serta risiko penyalahgunaan untuk pencucian uang dan pendanaan terlarang harus menjadi perhatian utama. Oleh karena itu, pemerintah perlu bersinergi dengan lembaga penegak hukum, perusahaan teknologi, dan akademisi untuk menciptakan kerangka regulasi yang adaptif dan kokoh.
Dunia Bergerak Cepat, Indonesia Tak Boleh Tertinggal
Regulasi stablecoin telah menjadi isu global yang mendapat perhatian serius. Negara-negara seperti Jepang, Singapura, dan Swiss telah memiliki payung hukum yang memungkinkan penerbitan stablecoin secara legal dengan pengawasan yang ketat.
Indonesia sendiri tidak bisa menunggu terlalu lama. Jika tidak segera diatur, penggunaan stablecoin di bawah radar hukum justru dapat menimbulkan risiko besar bagi sistem keuangan nasional.
“Kita tidak bisa menolak kehadiran teknologi, tapi kita bisa mengarahkan penggunaannya agar memberi manfaat maksimal dan meminimalkan risiko,” ungkap pakar blockchain dari ITB, Dr. Satria Wibawa.
Penutup
Dengan lonjakan adopsi kripto di Indonesia dan makin meluasnya penggunaan stablecoin dalam berbagai transaksi digital, langkah pemerintah untuk mengatur aset ini menjadi penting dan mendesak. Tantangannya bukan hanya mengontrol risiko, tetapi juga menciptakan ekosistem yang aman, inovatif, dan pro-konsumen.
Jika regulasi ini berhasil dirumuskan secara inklusif dan adaptif, Indonesia berpotensi menjadi salah satu pionir regulasi kripto di Asia Tenggara, sekaligus memperkuat posisi dalam ekonomi digital global yang makin kompetitif