Yogyakarta (RadarYogyakarta.com) – Kasus penembakan yang dilakukan aparat Malaysia terhadap lima pekerja migran Indonesia (PMI) yang tidak memiliki dokumen resmi di perairan Tanjung Rhu, Selangor, dinilai sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional, terutama dalam hal hak asasi manusia (HAM). Pendapat tersebut disampaikan oleh Profesor Dafri Agussalim, seorang pemerhati hak asasi manusia dari Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam sebuah pernyataan yang disampaikan di Yogyakarta, Senin (2/2).
Menurut Dafri, tindakan aparat Malaysia tersebut tidak hanya memerlukan protes diplomatik dari pemerintah Indonesia, tetapi juga langkah perbaikan sistemik di dalam negeri. “Kasus ini bukan hanya soal respons diplomatik, melainkan perlu ada perbaikan mendasar dalam sistem perlindungan pekerja migran,” ujar Dafri.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa kejadian tersebut seharusnya menjadi momentum untuk mengevaluasi kembali mekanisme perlindungan pekerja migran antara Indonesia dan Malaysia. “Ini tidak boleh berhenti hanya pada kompensasi atau hukuman bagi pelaku. Kedua negara harus merumuskan ulang sistem perlindungan agar tragedi serupa tidak terulang di masa depan,” lanjutnya.
Dafri juga menekankan pentingnya kerja sama bilateral antara Indonesia dan Malaysia dalam memberantas perdagangan manusia dan percaloan tenaga kerja ilegal. Meskipun di tingkat ASEAN sudah ada protokol perlindungan untuk pekerja migran, ia menilai implementasinya masih belum efektif.
“Penyelesaian kasus ini harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih holistik, mencakup aspek hukum, sosial, dan ekonomi,” tambahnya. Ia juga menyoroti tugas besar bagi Indonesia untuk memastikan keadilan bagi korban, memperbaiki kebijakan ketenagakerjaan, serta memperkuat perlindungan terhadap pekerja migran.
Dalam pandangan Dafri, fenomena pekerja migran ilegal yang masuk ke Malaysia disebabkan oleh berbagai faktor. Selain kebijakan Malaysia, ada juga faktor pendorong dari dalam negeri (push factor) seperti minimnya lapangan pekerjaan dan rendahnya upah yang mendorong masyarakat Indonesia mencari pekerjaan di luar negeri. Di sisi lain, Malaysia menawarkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang ada di Indonesia, sehingga semakin memperburuk situasi.
“Jika pekerjaan yang layak tersedia di dalam negeri, masyarakat tidak akan mengambil risiko bekerja secara ilegal di luar negeri,” ujar Dafri. Fenomena ini diperburuk dengan keberadaan calo dan sindikat perdagangan manusia yang menjadi faktor perantara dalam migrasi ilegal.
Dafri menegaskan perlunya pemberantasan terhadap praktik kejahatan ini hingga ke akar-akarnya serta pentingnya membentuk hubungan bilateral yang jelas dan berorientasi pada perlindungan warganya.
Sebelumnya, pada Jumat (24/1) sekitar pukul 03.00 waktu setempat, Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) menembaki sebuah kapal di perairan Tanjung Rhu. Penembakan tersebut menyebabkan satu warga negara Indonesia meninggal dunia, sementara empat lainnya mengalami luka-luka.