Kendari, RadarYogyakarta.com – Rendahnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan mental dinilai masih menjadi persoalan serius di tengah meningkatnya kasus gangguan psikologis di berbagai daerah. Hal ini disampaikan Psikolog Klinis dari UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Kendari, Astri Yunita, saat ditemui pada Senin (2/6/2025).
Astri mengungkapkan bahwa respons sebagian masyarakat terhadap kasus-kasus kesehatan mental kerap kali minim empati, bahkan tak jarang dijadikan bahan candaan atau gosip. Menurutnya, sikap tersebut menunjukkan kurangnya kesadaran terhadap dampak serius dari luka psikologis.
“Luka mental itu nyata dan tidak bisa dianggap sepele. Sayangnya, masih banyak yang memperlakukannya seperti lelucon atau drama. Padahal ini bukan konsumsi ringan untuk diperbincangkan sembarangan,” tegas Astri.
Ia menjelaskan, penderitaan psikologis kerap kali lebih menyakitkan daripada luka fisik karena sifatnya yang tidak kasat mata. Dampaknya bisa mempengaruhi cara seseorang berpikir, merasakan, hingga menjalani kehidupan sehari-hari.
“Kalau luka fisik bisa sembuh dengan waktu dan pengobatan, luka batin kadang terus membekas. Tidak kelihatan, tapi terasa menyiksa,” ungkapnya.
Astri menekankan pentingnya membangun kesadaran kolektif agar tragedi yang menyangkut kondisi mental tidak lagi dipandang sebelah mata. Setiap komentar sembrono, kata dia, dapat memperburuk keadaan seseorang yang tengah berada dalam situasi krisis.
“Kita tidak pernah tahu seberapa dalam luka yang mereka alami. Kadang mereka bukan ingin mengakhiri hidup, tapi hanya ingin berhenti dari rasa sakit yang mereka tanggung,” katanya.
Untuk itu, Astri mengajak masyarakat membentuk lingkungan yang lebih ramah dan bebas stigma terhadap penderita gangguan mental. Edukasi publik, menurutnya, merupakan langkah awal yang sangat penting dalam menciptakan ruang sosial yang aman dan suportif.
“Empati kita bisa menciptakan harapan bagi mereka yang sedang berjuang dalam diam. Dan harapan itu bisa menjadi penyelamat,” ujarnya.
Ia menutup dengan imbauan agar penderitaan batin tidak lagi dijadikan bahan hiburan atau komentar sembrono. “Kesadaran kolektif harus dibangun, dan semuanya dimulai dari cara kita berbicara dan merespons,” pungkasnya.