Jakarta, RadarYogyakarta.com – Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Yanto, mengungkapkan bahwa publik berhak menilai sendiri keputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperberat hukuman terdakwa Harvey Moeis dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah. Vonis yang semula 6 tahun 6 bulan penjara, kini ditingkatkan menjadi 20 tahun.
“Masalah adil atau tidak, biar masyarakat yang menilai. Kami tidak bisa berkomentar tentang putusan yang sudah dibuat. Sebagai hakim, kami dilarang untuk memberi pendapat mengenai perkara yang sedang berjalan,” kata Yanto dalam konferensi pers di Media Center MA, Jakarta, Kamis (13/2/2025).
Yanto menegaskan bahwa aturan yang berlaku melarang hakim untuk mengomentari perkara yang sudah atau sedang diputuskan. “Saya tidak boleh berkomentar mengenai itu, baik perkara yang sudah berjalan maupun yang belum,” tambahnya.
Vonis terhadap Harvey Moeis yang merupakan perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk. diperberat pada tingkat banding. Harvey dijatuhi hukuman penjara 20 tahun serta denda Rp 1 miliar subsider 8 bulan, dan diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp420 miliar subsider 10 tahun penjara.
Majelis hakim di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mempertimbangkan beberapa hal yang memberatkan dalam keputusan ini. Salah satunya adalah kenyataan bahwa perbuatan Harvey Moeis tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
“Perbuatan terdakwa sangat menyakiti hati rakyat, karena di saat ekonomi sedang sulit, ia malah melakukan tindak pidana korupsi,” ujar Hakim Ketua Teguh Harianto di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Di tingkat pertama, Harvey divonis 6 tahun 6 bulan penjara, denda Rp1 miliar subsider 6 bulan, dan uang pengganti sebesar Rp210 miliar subsider 2 tahun penjara. Kasus ini mengungkapkan bahwa Harvey bersama sejumlah pihak lainnya terlibat dalam korupsi yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp300 triliun.
Kerugian tersebut terdiri dari Rp2,28 triliun akibat kerjasama sewa-menyewa peralatan pengolahan timah dengan smelter swasta, Rp26,65 triliun dari pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah, dan Rp271,07 triliun kerugian lingkungan.
Harvey terbukti menerima uang senilai Rp420 miliar, bersama dengan Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE), Helena Lim, serta melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dalam kasus ini, Harvey melanggar beberapa pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.