Jalur Gaza, Palestina (RadarYogyakarta.com) – Warga Palestina di Jalur Gaza menyambut bulan suci Ramadan dengan penuh keprihatinan, terperangkap di antara reruntuhan bangunan dan kelaparan akibat 16 bulan perang yang tak henti-hentinya. Perang yang telah mengubah Gaza menjadi zona bencana ini membuat tradisi Ramadan yang dulu penuh kegembiraan kini menjadi kenangan.
Sebelum konflik, jalan-jalan di Gaza hidup dengan panggilan adzan untuk menandai datangnya bulan suci, pasar-pasar dihiasi lampu-lampu perayaan, dan anak-anak melantunkan ayat-ayat Al-Quran. Namun, kini semua itu hanya tersisa sebagai kenangan. Suara adzan yang biasa mengisi udara berganti dengan tangisan para korban, sementara pasar yang dulu ramai kini berubah menjadi tumpukan puing.
Setiap sudut Gaza kini menyimpan jejak-jejak kehancuran, dengan banyak rumah, masjid, dan sekolah yang hancur. Namun, meskipun di tengah penderitaan yang luar biasa, warga Gaza tetap berusaha melestarikan tradisi Ramadan mereka.
Di antara reruntuhan, lentera-lentera digantung dan mural warna-warni dilukis di dinding yang hancur, sebagai simbol harapan di tengah kenyataan yang suram. “Kami menciptakan kehidupan dari warna-warna,” ujar seorang pemuda yang tengah menghiasi jalan-jalan di Gaza, berharap agar Ramadan kali ini membawa kedamaian dan keamanan.
Di Khan Younis, Gaza selatan, seorang pria Palestina berdiri di kiosnya yang menjual Qatayef, kue kering tradisional yang biasa disantap saat berbuka puasa. “Suasana tahun ini adalah yang tersulit yang pernah kami alami,” ujarnya. “Tidak ada kegembiraan, tidak ada perayaan. Dulu, genderang bergema di jalan-jalan, dekorasi digantung, dan kebahagiaan terasa di mana-mana. Tetapi tahun ini, semuanya berbeda.”
Kursi Kosong Saat Berbuka Puasa
Ramadan di Gaza kali ini jauh berbeda. Pertemuan keluarga yang dulu menjadi ciri khas bulan suci kini digantikan dengan kesedihan, karena puluhan ribu orang sedang berduka atas kehilangan orang-orang terkasih dalam perang. Hingga 27 Februari 2025, Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa jumlah korban tewas telah mencapai 48.365 jiwa sejak 7 Oktober 2023.
Bantuan makanan sangat terbatas, dan persediaan yang masuk ke Gaza melalui pedagang dihargai jauh lebih mahal daripada yang mampu dibeli oleh banyak keluarga yang kehilangan mata pencaharian mereka. “Lebih dari dua juta orang menghadapi kelangkaan pasokan makanan pokok. Harga-harga telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, membuat kelangsungan hidup sehari-hari semakin sulit,” kata Ismail Al-Thawabta, Direktur Jenderal Kantor Media Pemerintah Gaza.
Persiapan makanan pun menjadi tantangan besar, dengan air bersih yang semakin sulit didapat dan banyak yang terpaksa menggunakan kayu bakar atau kertas untuk memasak karena peralatan memasak modern sudah tidak tersedia.
Tantangan dalam Pengiriman Bantuan
Juru bicara PBB, Stephane Dujarric, mengungkapkan tantangan besar dalam mengirimkan bantuan ke Gaza. Dalam konferensi pers pada 25 Februari, ia mengungkapkan bahwa enam bayi baru lahir meninggal akibat pembatasan bantuan kemanusiaan, meskipun gencatan senjata telah disepakati. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, bayi-bayi tersebut meninggal karena paparan udara dingin yang ekstrem.
Batasan bantuan juga menghalangi pengiriman 200.000 tenda dan 60.000 rumah mobil untuk warga yang mengungsi. Ini merupakan pelanggaran terhadap perjanjian gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari antara kelompok perlawanan Palestina, Hamas, dan Israel.
Kehancuran Kota Gaza
Setiap bagian dari Jalur Gaza menceritakan kisah kehancuran. Kawasan yang sebelumnya berkembang pesat kini terhampar puing-puing, dengan penduduk yang terpaksa mengungsi atau berjuang untuk bertahan hidup. Meski demikian, warga Palestina tetap teguh menjalankan ibadah Ramadan. Salat Tarawih digelar di antara reruntuhan, dan doa-doa tetap dikumandangkan dari sisa-sisa masjid yang hancur.
Minggu lalu, Kementerian Agama Gaza mengumumkan bahwa 1.109 dari 1.244 masjid di daerah tersebut telah hancur total atau sebagian selama perang. Lebih dari 1,5 juta dari 2,4 juta penduduk Gaza telah terpaksa mengungsi akibat kerusakan yang luas.
Gencatan senjata dan perjanjian pertukaran tahanan yang berlaku sejak bulan lalu menghentikan sementara serangan-serangan Israel, yang telah menghancurkan Gaza dan merenggut lebih dari 48.360 nyawa, sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.