Jakarta (RadarYogyakarta.com) – Pengamat hukum dan aktivis anti-korupsi, Hardjuno Wiwoho, menilai bahwa perampasan aset adalah langkah yang sangat efektif untuk memberikan efek jera kepada para pelaku korupsi. Ia menjelaskan bahwa hukuman penjara saja tidak cukup, apalagi banyak kasus di mana koruptor yang telah divonis tetap dapat hidup nyaman setelah keluar dari penjara karena aset mereka tidak terjamah.
“Perampasan aset harus menjadi senjata utama dalam pemberantasan korupsi,” tegas Hardjuno dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (6/3).
Lebih lanjut, Hardjuno menyatakan bahwa pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset menjadi undang-undang merupakan langkah yang sangat penting dan tak bisa ditunda lagi. Menurutnya, strategi pemberantasan korupsi harus melibatkan tiga aspek utama: pencegahan, penindakan, dan pemulihan aset. Selama ini, kata dia, aspek pemulihan aset sering terabaikan karena mekanisme hukum yang rumit dan berbelit-belit.
“RUU Perampasan Aset ini membawa terobosan baru dengan menghadirkan mekanisme non-conviction based asset forfeiture, yaitu penyitaan aset tanpa menunggu keputusan hukum pidana,” ujarnya. Hardjuno menambahkan bahwa mekanisme tersebut sudah diterapkan di beberapa negara seperti Amerika Serikat melalui Civil Asset Forfeiture dan Inggris dengan Proceeds of Crime Act.
Menurutnya, RUU ini memberikan kesempatan bagi negara untuk menyita aset milik koruptor sejak tahap penyidikan, selama ada bukti yang cukup bahwa kekayaan tersebut berasal dari tindak pidana. Selain itu, konsep illicit enrichment juga akan diberlakukan, yang memungkinkan pejabat dengan kekayaan yang meningkat secara tidak wajar untuk diperiksa. Jika tidak dapat membuktikan asal-usul hartanya, maka aset tersebut dapat disita.
Hardjuno juga menyesalkan bahwa hingga saat ini RUU Perampasan Aset masih belum dibahas serius oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), meskipun sudah lama menjadi wacana. Ia mengungkapkan bahwa pemerintah telah mengajukan rancangan RUU tersebut sejak tahun 2003, berawal dari inisiatif Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
“Terhentinya pembahasan RUU ini bukan tanpa alasan. Ada indikasi kuat bahwa kepentingan politik elite turut menghalangi pengesahannya,” ungkap Hardjuno. Ia pun mengajak masyarakat untuk terus mendukung dan mengawal pengesahan RUU tersebut agar tidak terjebak dalam dinamika politik yang penuh kepentingan.
“Kita tidak boleh diam. Korupsi sudah sangat mengakar, dan tanpa tekanan publik, RUU Perampasan Aset bisa saja terus tertunda tanpa kepastian,” tandasnya.