Malang, Radaryogyakarta.com – Situasi tegang menyelimuti Kota Malang pada Minggu (23/3/2025) malam, setelah aksi demonstrasi menolak Undang-Undang TNI yang digelar di depan Gedung DPRD Kota Malang berakhir ricuh. Kekerasan tidak hanya menimpa para demonstran, tetapi juga sejumlah pihak yang hadir untuk memberikan dukungan, termasuk tim medis, jurnalis, dan pendamping hukum.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Indonesia dalam rilisnya mengungkapkan bahwa setelah kekacauan pascademonstrasi, aparat gabungan dari Kepolisian dan TNI melakukan penyisiran di sejumlah titik sekitar pukul 18.40 WIB. Lokasi yang menjadi sasaran penyisiran antara lain Balai Kota Malang, Jalan Suropati, Jalan Sultan Agung, hingga Jalan Pajajaran.
“Sejumlah peserta aksi ditangkap, dipukul, dan diancam. Tim medis, jurnalis, serta pendamping hukum yang berada di Halte Jalan Kertanegara juga tidak luput dari tindakan kekerasan, termasuk pemukulan, ancaman pembunuhan secara verbal, dan kekerasan seksual,” ungkap LBH Indonesia melalui akun media sosialnya.
Menurut LBH Malang, sejumlah ponsel milik para demonstran dan tim medis turut dirampas. Selain itu, perlengkapan medis yang disiapkan untuk memberikan pertolongan pertama juga disita oleh aparat.
Sementara itu, pihak kepolisian mengonfirmasi bahwa tujuh anggota aparat keamanan mengalami luka-luka dalam insiden tersebut. Enam di antaranya adalah anggota kepolisian, sementara satu lainnya merupakan anggota TNI. “Benar, ada tujuh personel yang terluka. Terdiri dari enam anggota polisi dan satu personel TNI,” ujar Ipda Yudi Risdiyanto, Kasi Humas Polresta Malang Kota.
Lebih lanjut, laporan yang diterima hingga pukul 21.25 WIB menyebutkan bahwa enam hingga tujuh orang demonstran terpaksa dilarikan ke rumah sakit akibat luka-luka yang mereka alami. Selain itu, sekitar sepuluh orang dilaporkan hilang kontak, dan tiga lainnya diketahui telah diamankan oleh petugas.
Aparat keamanan yang terlibat dalam penyisiran tampak mengenakan perlengkapan lengkap, serta membawa alat pemukul. Beberapa di antara mereka juga terlihat mengenakan pakaian preman, menambah ketegangan dalam situasi tersebut.
Insiden ini menambah daftar panjang kekerasan yang terjadi dalam aksi-aksi demonstrasi di Indonesia, yang mengundang perhatian luas, baik dari masyarakat maupun lembaga-lembaga hak asasi manusia.