JOGJA, RadarYogyakarta.com — Angka penderita gangguan jiwa di Kota Yogyakarta terus mengalami peningkatan yang signifikan. Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Jogja, hingga awal 2024 tercatat sebanyak 3.433 orang mengalami gangguan jiwa. Dari jumlah tersebut, 1.096 merupakan penderita gangguan jiwa berat, sementara sisanya, yakni 2.337 orang, berada pada kategori gangguan jiwa ringan seperti kecemasan, depresi, dan kondisi campuran lainnya.
Kasi Pencegahan Pengendalian Penyakit Tidak Menular dan Kesehatan Jiwa Dinkes Kota Jogja, Iva Kusdyarini, menyebut angka tersebut mengalami lonjakan drastis dibandingkan tahun 2023 yang hanya mencapai 1.239 kasus. “Ada peningkatan yang cukup signifikan. Ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap kesehatan mental masyarakat perlu ditingkatkan,” ujarnya seperti yang dikutip dari Kabar Kala.
Faktor Sosial dan Ekonomi Berperan Besar
Iva mengungkapkan bahwa berbagai faktor menjadi pemicu utama gangguan kejiwaan di tengah masyarakat. Faktor-faktor tersebut meliputi kekerasan, dinamika sosial, hingga permasalahan keluarga seperti broken home. Namun, aspek ekonomi dan pekerjaan menjadi faktor dominan yang memengaruhi kondisi mental masyarakat, terutama pada kelompok dewasa.
“Permasalahan ekonomi sering kali menjadi tekanan yang berat. Ketidakstabilan pekerjaan, penghasilan yang rendah, atau tidak sesuai dengan kebutuhan hidup dapat memicu stres berkepanjangan,” jelasnya.
Hal ini juga diamini oleh psikolog sekaligus akademisi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Faza Maulida. Ia menegaskan bahwa faktor sosial yang berkaitan dengan ekonomi memainkan peranan besar dalam tingginya angka gangguan jiwa di Kota Jogja.
“Ketika seseorang sulit mendapatkan pekerjaan atau menerima upah yang tidak layak, maka tekanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari menjadi sangat besar. Hal ini dapat memicu stres dan gangguan kejiwaan lainnya,” ungkap Faza pada Selasa (21/1/2025).
Tingkatan Gangguan Jiwa dan Ciri-Cirinya
Faza menjelaskan bahwa gangguan jiwa memiliki tingkatan dengan gejala yang berbeda-beda. Pada kategori ringan, penderita biasanya mengalami kecemasan namun tetap mampu menjalankan aktivitas sehari-hari. Namun, ketika gangguan tersebut berkembang menjadi moderat atau sedang, aktivitas normal mereka mulai terganggu.
“Sebagai contoh, seseorang yang sebelumnya rutin makan tiga kali sehari, bisa jadi kehilangan nafsu makan dan lebih banyak tidur. Selain itu, mereka cenderung menarik diri dari lingkungan sosial, merasa tidak berharga, hingga mengalami depresi sedang atau berat. Pada tahap ini, bantuan profesional sangat diperlukan,” paparnya.
Sementara itu, gangguan jiwa berat ditandai dengan gejala yang lebih kompleks, seperti halusinasi hingga skizofrenia. Menurut Faza, penderita gangguan jiwa berat sering kali mendengar suara atau hal-hal yang sebenarnya tidak ada.
“Pada kondisi psikotik seperti skizofrenia paranoid, penderita biasanya merasa dunia luar tidak aman. Mereka cenderung mengisolasi diri, merasa terancam, bahkan bisa membahayakan orang lain karena dipengaruhi oleh bisikan-bisikan yang mereka dengar,” tuturnya.
Perlu Penanganan Serius dan Dukungan Masyarakat
Faza menekankan pentingnya dukungan masyarakat dalam membantu penderita gangguan jiwa. Selain itu, kesadaran untuk mencari bantuan profesional juga harus ditingkatkan. “Gangguan jiwa bukan hal yang memalukan. Masyarakat perlu memahami bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik,” tegasnya.
Sebagai upaya pencegahan, pihak Dinkes Kota Jogja bersama berbagai institusi terus menggencarkan kampanye kesadaran kesehatan mental. Selain itu, layanan konsultasi gratis juga mulai disediakan di beberapa fasilitas kesehatan untuk memberikan akses lebih mudah bagi masyarakat yang membutuhkan.
Dengan meningkatnya perhatian terhadap kesehatan mental, diharapkan jumlah penderita gangguan jiwa dapat ditekan, dan masyarakat Jogja bisa hidup lebih sejahtera, baik secara fisik maupun mental
beritanya bagus dan update.