Yogyakarta (RadarYogyakarta.com) – Pakar Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Alfath Bagus Panuntun menyarankan agar ambang batas parlemen atau “parliamentary threshold” tetap dipertahankan. Menurutnya, ambang batas ini penting untuk menjaga keseimbangan antara keterwakilan politik dan stabilitas pemerintahan di Indonesia.
Alfath menjelaskan bahwa pada awalnya ambang batas ditetapkan sebesar 3,5 persen, namun pada revisi Undang-Undang Pemilu tahun 2017, angka tersebut dinaikkan menjadi 4 persen. Penetapan angka ini, katanya, bukanlah keputusan yang muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dari kompromi yang memperhitungkan kedua aspek: inklusivitas demokrasi dan efektivitas pemerintahan.
“Angka 4 persen dalam ambang batas parlemen memiliki tujuan untuk menyeimbangkan antara hak setiap partai untuk berpartisipasi dalam pemilu dan kebutuhan untuk menjaga stabilitas pemerintahan,” ujar Alfath di Yogyakarta, Rabu (5/2).
Menurutnya, jika ambang batas parlemen dihapuskan, partai-partai kecil yang selama ini gagal lolos bisa memperoleh kursi. Namun, hal ini justru dapat menciptakan kerumitan dalam pengambilan keputusan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Semakin banyaknya jumlah partai, semakin rumit pembagian tugas, pembentukan fraksi, dan efektivitas kinerja DPR,” tambahnya.
Alfath juga berpendapat bahwa dengan jumlah partai yang lebih sedikit dan terstruktur, proses legislasi dan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah akan lebih efisien dan terarah. Ia menegaskan, “Jangan sampai, demi mengakomodasi semua kelompok, justru yang terlayani adalah kepentingan politisi, bukan kepentingan rakyat.”
Selain itu, Alfath menilai ambang batas parlemen memiliki peran penting dalam memperjelas ideologi dan program kerja partai politik. “Dengan ambang batas yang lebih tinggi, partai politik dituntut untuk memiliki ideologi dan program kerja yang jelas. Jika tidak, akan sulit untuk membedakan satu partai dengan yang lainnya,” paparnya.
Meskipun demikian, menurutnya, masyarakat tidak terlalu mempermasalahkan adanya atau tidak adanya ambang batas parlemen. “Yang terpenting adalah fungsi DPR berjalan dengan baik, terbuka terhadap kritik, dan benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat,” tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengungkapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) berpeluang untuk membatalkan ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional. “Setelah ada keputusan terkait presidential threshold, ada kemungkinan MK juga akan membatalkan parliamentary threshold yang selama ini menjadi perbincangan banyak partai politik,” ujarnya di Denpasar, Bali pada 13 Januari 2025.
Yusril menyatakan bahwa keputusan MK yang membatalkan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen bisa berdampak terhadap ketentuan ambang batas parlemen. Keputusan tersebut membuka peluang bagi partai-partai politik untuk berkembang dalam demokrasi Indonesia yang lebih sehat.